Saturday, May 11, 2013

PENATALAKSANAAN TERAPI LATIHAN POST ORIF

1. Anatomi Fungsional
a. Sistem Tulang
Tulang adalah struktur dinamis yang secara terus-menerus diperbarui (Victor P, 2003). Kapasitas tanggungan beban suatu tulang dapat mencapai 10 sampai 20 kali lipat berat badan. Hal ini dimungkinkan oleh sifat elastis tulang yang memungkinkan tulang sedikit melengkung pada saat diberikan beban (Garrison, 1996).
Tungkai bawah manusia terdiri dari dua tulang, yaitu tulang tibia (tulang kering) dan tulang fibula (tulang betis). Tibia adalah tulang berbentuk pipa dengan sebuah batang dan mempunyai dua ujung. Tulang tibia terletak di sebelah medial fibula, dan memiliki tiga bagian yang terdiri epipisis proksimalis, diapisis dan epipisis distalis. Sedangkan tulang fibula atau tulang betis adalah tulang sebelah lateral tibia. Tulang ini berbentuk pipa dengan sebuah batang dan dua ujung (Evelyn, 1997).

b. Sistem Sendi
Persendian adalah suatu hubungan antara dua buah tulang atau lebih yang dihubungkan melalui pembungkus jaringan ikat pada bagian luar dan pada bagian dalam terdapat rongga sendi dengan permukaan tulang yang dilapisi oleh tulang rawan (Fitriani Lumongga, 2004).
Pada kasus pasca operasi fraktur cruris dextra 1/3 distal dengan ORIF biasanya akan menimbulkan gangguan terutama pada sendi pergelangan kaki kanan. Ini dapat terjadi karena letak fraktur yang berdekatan dengan sendi pergelangan kaki kanan sehingga berdampak pada gerakan sendi tersebut.
Sendi pergelangan kaki terdiri dari tiga persendian, yaitu sendi tibiofibularis distalis, talocruralis dan subtalaris (Norkin, 1995). Gerakan yang dapat dilakukan sendi pergelangan kanan adalah plantar fleksi, dorsi fleksi, eversi dan inversi.
Luas gerak sendi pergelangan kaki untuk gerakan dorsi fleksi-plantar fleksi S 30˚ - 0˚ - 50˚, sedang luas gerak sendi untuk gerakan eversi-inversi R 40˚ - 0˚ - 20˚ yang diukur dari posisi anatomis (Kisner, 1996).

c. Sistem Otot
Otot merupakan sistem penggerak tubuh yang bekerja secara aktif. Pada sendi pergelangan kaki otot penggerak utama gerakan dorsi fleksi adalah otot tibialis anterior. Sedangkan gerakan plantar fleksi digerakkan oleh otot gastroknemius dan otot soleus.
Pada gerakan inversi, otot penggerak yang bekerja adalah otot tibialis posterior. Dan pada gerakan eversi, otot penggerak yang bekerja adalah otot peroneus longus dan otot peroneus brevis. Dengan adanya otot-otot tersebut memungkinkan terjadinya kontraksi sehingga terjadi gerakan pada sendi atau tulang.



Gambar 2.1 Tulang tibia dan fibula dilihat dari anterior (Sobotta, 2000)



Gambar 2.2 Otot-otot penggerak sendi lutut dan pergelangan kaki kanan dilihat dari anterior (Sobotta, 2000)




Gambar 2.3 Otot-otot penggerak sendi lutut dan pergelangan kaki kanan dilihat dari posterior (Sobotta, 2000)

2. Definisi
a. Terapi latihan
Terapi latihan adalah suatu usaha penyembuhan dalam fisioterapi yang dalam pelaksanaannya menggunakan gerakan tubuh, baik secara aktif maupun pasif (Priatna, 1985).
Dengan memberikan aktivitas fisik berupa terapi latihan maka dapat digunakan untuk mengatasi gangguan fungsi tubuh dan gerak, mencegah timbulnya komplikasi, mengurangi nyeri pada daerah sekitar incisi dan oedema serta dapat digunakan untuk melatih aktivitas fungsional.
Jenis terapi latihan yang digunakan dalam kasus ini antara lain : (1) static contraction, (2) latihan pasif, (3) latihan aktif, (4) latihan jalan berupa transfer dan ambulasi.

b. Fraktur cruris dextra 1/3 distal
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang umumnya disebabkan oleh ruda paksa (Sjamsuhidajat, 2004). Sedangkan cruris dextra adalah tungkai bawah kanan yang terdiri dari dua tulang panjang yaitu tulang tibia dan fibula. Lalu 1/3 distal adalah letak suatu patahan terjadi pada bagian 1/3 bawah dari tungkai. Jadi pengertian dari fraktur cruris dextra 1/3 distal adalah patah tulang yang terjadi pada tulang tibia dan fibula yang terletak pada 1/3 bagian bawah sebelah kanan.

c. ORIF
ORIF adalah suatu bentuk pembedahan dengan pemasangan internal fiksasi pada tulang yang mengalami fraktur. Fungsi ORIF untuk mempertahankan posisi fragmen tulang agar tetap menyatu dan tidak mengalami pergeseran. Internal fiksasi ini berupa Intra Medullary Nail biasanya digunakan untuk fraktur tulang panjang dengan tipe fraktur tranvers.

3. Etiologi
Pada fraktur cruris dextra 1/3 distal disebabkan karena adanya trauma pada tungkai bawah kanan akibat benturan dengan benda yang keras, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Dalam kasus fraktur cruris dextra 1/3 distal, tindakan yang biasa dilakukan untuk reposisi antar fragmen adalah dengan reduksi terbuka atau operasi. Ini dilakukan karena pada kasus ini memerlukan pemasangan internal fiksasi untuk mencegah pergeseran antar fragmen pada waktu proses penyambungan tulang (Apley, 1995).
Pada operasi ini dilakukan incisi untuk pemasangan internal fiksasi yang dapat berupa Intra Medullary Nail sehingga akan terjadi kerusakan pada kulit, jaringan lunak dan luka pada otot yang menyebabkan terjadinya oedema, nyeri, keterbatasan lingkup gerak sendi serta gangguan fungsional pada tungkai bawah.
4. Patologi
Setelah fraktur dapat terjadi kerusakan pada sumsum tulang, endosteum dan jaringan otot. Pada fraktur cruris dextra 1/3 distal upaya penanganan dilakukan tindakan operasi dengan menggunakan internal fiksasi. Pada kasus ini, hal pertama yang dapat dilakukan adalah dengan incisi. Dengan incisi maka akan terjadi kerusakan pada jaringan lunak dan saraf sensoris. Apabila pembuluh darah terpotong dan rusak maka cairan dalam sel akan menuju jaringan dan menyebabkan oedema. Oedema ini akan menekan saraf sensoris sehingga akan menimbulkan nyeri pada sekitar luka incisi. Bila terasa nyeri biasanya pasien cenderung untuk malas bergerak. Hal ini akan menimbulkan perlengketan jaringan otot sehingga terjadi fibrotik dan menyebabkan penurunan lingkup gerak sendi (LGS) yang dekat dengan perpatahan dan potensial terjadi penurunan nilai kekuatan otot.
Waktu penyembuhan pada fraktur sangat bervariasi antara individu satu dengan individu lainnya. Faktor-faktor yang mempengaruhi penyembuhan fraktur antara lain : usia pasien, jenis fraktur, banyaknya displacement, lokasi fraktur, pasokan darah pada fraktur dan kondisi medis yang menyertai (Garrison, 1996). Dan yang paling penting adalah stabilitas fragmen pada tulang yang mengalami perpatahan. Apabila stabilitas antar fragmen baik maka penyembuhan akan sesuai dengan target waktu yang dibutuhkan atau diperlukan.
Secara fisiologis, tulang mempunyai kemampuan untuk menyambung kembali setelah terjadi perpatahan pada tulang. Pada fraktur, proses penyambungan tulang dibagi dalam 5 tahap yaitu :
a. Hematoma
Pembuluh darah robek dan terbentuk hematoma di sekitar dan di dalam fraktur (Apley, 1995). Hal ini mengakibatkan gangguan aliran darah pada tulang yang berdekatan dengan fraktur dan mematikannya (Maurice King, 2001).

b. Proliferasi
Dalam 8 jam setelah fraktur terdapat reaksi radang akut disertai proliferasi sel di bawah periosteum dan di dalam saluran medulla yang tertembus. Hematoma yang membeku perlahan-lahan diabsorbsi dan kapiler baru yang halus berkembang ke dalam daerah itu (Apley, 1995).
c. Pembentukan callus
Selama beberapa minggu berikutnya, periosteum dan endosteum menghasilkan callus yang penuh dengan sel kumparan yang aktif. Dengan pergerakan yang lembut dapat merangsang pembentukan callus pada fraktur tersebut (Maurice King, 2001).
d. Konsolidasi
Selam­a stadium ini tulang mengalami penyembuhan terus-menerus. Fragmen yang patah tetap dipertahankan oleh callus sedangkan tulang mati pada ujung dari masing-masing fragmen dihilangkan secara perlahan, dan ujungnya mendapat lebih banyak callus yang akhirnya menjadi tulang padat (Maurice King, 2001). Ini adalah proses yang lambat dan mungkin perlu beberapa bulan sebelum tulang cukup kuat untuk membawa beban yang normal (Apley, 1995).
e. Remodelling
Tulang yang baru terbentuk, dibentuk kembali sehingga mirip dengan struktur normal (Appley, 1995). Semakin sering pasien menggunakan anggota geraknya, semakin kuat tulang baru tersebut (Maurice King, 2001).
Perubahan patologi setelah dilakukan operasi adalah :

1) Oedema
Oedema dapat terjadi karena adanya kerusakan pada pembuluh darah akibat dari incisi, sehingga cairan yang melewati membran tidak lancar dan tidak dapat tersaring lalu terjadi akumulasi cairan sehingga timbul bengkak.
2) Nyeri
Nyeri dapat terjadi karena adanya rangsangan nociceptor akibat incisi dan adanya oedema pada sekitar fraktur.
3) Keterbatasan LGS
Permasalahan ini timbul karena adanya rasa nyeri, oedema, kelemahan pada otot sehingga pasien tidak ingin bergerak dan beraktivitas. Keadaan ini dapat menyebabkan perlengketan jaringan dan keterbatasan lingkup gerak sendi (Apley, 1995).
4) Potensial terjadi penurunan kekuatan otot
Pada kasus ini potensial terjadi penurunan kekuatan otot karena adanya nyeri dan oedema sehingga pasien enggak menggerakkan dengan kuat. Tetapi jika dibiarkan terlalu lama maka penurunan kekuatan otot ini akan benar-benar terjadi.
5. Tanda dan gejala klinis
Pada penderita pasca operasi fraktur cruris dextra 1/3 distal akan ditemui berbagai tanda dan gejala yaitu pasien mengalami oedema pada daerah yang mengalami fraktur, timbul nyeri akibat incisi, keterbatasan lingkup gerak sendi, dan gangguan aktivitas fungsional terutama gangguan berjalan.

6. Komplikasi
Pada kasus ini jarang sekali terjadi komplikasi karena incisi relatif kecil dan fiksasi cenderung aman. Komplikasi akn terjadi bila ada penyakit penyerta dan gangguan pada proses penyambungan tulang.

7. Prognosis
Prognosis pada pasca operasi fraktur cruris dextra 1/3 distal dikatakan baik apabila pasien secepat mungkin melakukan terapi latihan untuk membantu mengembalikan aktivitas fungsionalnya. Prognosis pada status fungsional yaitu baik selama pasien mendapatkan penanganan berupa terapi latihan dengan baik.

B. Deskripsi Problematika Fisioterapi
Problematika yang sering terjadi pada pasca operasi fraktur cruris dextra 1/3 distal, antara lain : (1) impairment berupa nyeri gerak akibat luka incisi operasi, oedema pada tungkai kanan terjadi karena suatu reaksi radang terhadap cidera jaringan, menurunnya lingkup gerak sendi karena adanya rasa nyeri dan oedema sehingga pasien malas untuk bergerak (2) functional limitation berupa penurunan kemampuan transfer dan ambulasi, (3) participation restriction berupa ketidakmampuan pasien melaksanakan kegiatan bersosialisasi dalam masyarakat

C. Teknologi Intervensi Fisioterapi
Tujuan utama penatalaksanaan rehabilitasi pada perawatan pasca fraktur adalah mengembalikan pasien tersebut dalam tingkat aktivitas normalnya (Garrison, 1996). Modalitas fisioterapi yang digunakan untuk penanganan pasca operasi fraktur cruris dextra 1/3 distal dengan terapi latihan. Terapi latihan adalah suatu usaha penyembuhan dalam fisioterapi yang dalam pelaksanaannya menggunakan gerakan tubuh, baik secara aktif maupun pasif (Priatna, 1985).
Terapi latihan yang dapat dilakukan :

1. Static contraction
Static contraction merupakan kontraksi otot secara isometrik untuk mempertahankan kestabilan tanpa disertai gerakan (Priatna, 1985). Dengan gerakan ini maka akan merangsang otot-otot untuk melakukan pumping action sehingga aliran darah balik vena akan lebih cepat. Apabila sistem peredaran darah baik maka oedema dan nyeri dapat berkurang.

2. Latihan pasif
Merupakan gerakan yang ditimbulkan oleh adanya kekuatan dari luar sedangkan otot penderita rileks (Priatna, 1985). Disini gerakan pasif dilakukan dengan bantuan terapis.

3. Latihan aktif
Latihan aktif merupakan gerakan murni yang dilakukan oleh otot-otot anggota tubuh pasien itu sendiri. Tujuan latihan aktifmeningkatkan kekuatan otot (Kisner, 1996). Gerak aktif tersebut akan meningkatkan tonus otot sehingga pengiriman oksigen dan nutrisi makanan akan diedarkan oleh darah. Dengan adanya oksigen dan nutrisi dalam darah, maka kebutuhan regenerasi pada tempat yang mengalami perpatahan akan terpenuhi dengan baik dan dapat mencegah adanya fibrotik.

6. Latihan jalan
Salah satu kemampuan fungsional yang sangat penting adalah berjalan. Latihan jalan dilakukan apabila pasien telah mampu untuk berdiri dan keseimbangan sudah baik. Latihan ini dilakukan secara bertahap dan bila perlu dapat menggunakan walker. Selain itu dapat menggunakan kruk tergantung dari kemampuan pasien. Pada waktu pertama kali latihan biasanya menggunakan teknik non weight bearing ( NWB ) atau tanpa menumpu berat badan. Bila keseimbangan sudah bagus dapat ditingkatkan secara bertahap menggunakan partial weight bearing ( PWB ) dan full weight bearing ( FWB ). Tujuan latihan ini agar pasien dapat melakukan ambulasi secara mandiri walaupun masih dengan alat bantu.

sumber: http://fisioterapiari.blogspot.com/2009/06/penatalaksanaan-terapi-latihan-pasca.html

No comments:

Post a Comment